teras

Selasa, 21 April 2009

Hikmah Kematian
“The Lessons from Death”

HARUN YAHYA


Kehidupan berlangsung tanpa disadari dari detik ke detik. Apakah anda tidak menyadari bahwa hari-hari yang anda lewati justru semakin mendekatkan anda kepada kematian sebagaimana juga yang berlaku bagi orang lain?

Seperti yang tercantum dalam ayat “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57) tiap orang yang pernah hidup di muka bumi ini ditakdirkan untuk mati. Tanpa kecuali, mereka semua akan mati, tiap orang. Saat ini, kita tidak pernah menemukan jejak orang-orang yang telah meninggal dunia. Mereka yang saat ini masih hidup dan mereka yang akan hidup juga akan menghadapi kematian pada hari yang telah ditentukan. Walaupun demikian, masyarakat pada umumnya cenderung melihat kematian sebagai suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan saja.

Coba renungkan seorang bayi yang baru saja membuka matanya di dunia ini dengan seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut. Keduanya sama sekali tidak berkuasa terhadap kelahiran dan kematian mereka. Hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan nafas bagi kehidupan atau untuk mengambilnya.

Semua makhluk hidup akan hidup sampai suatu hari yang telah ditentukan dan kemudian mati; Allah menjelaskan dalam Quran tentang prilaku manusia pada umumnya terhadap kematian dalam ayat berikut ini:

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. 62:8)

Kebanyakan orang menghindari untuk berpikir tentang kematian. Dalam kehidupan modern ini, seseorang biasanya menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang sangat bertolak belakang [dengan kematian]; mereka berpikir tentang: di mana mereka akan kuliah, di perusahaan mana mereka akan bekerja, baju apa yang akan mereka gunakan besok pagi, apa yang akan dimasak untuk makan malam nanti, hal-hal ini merupakan persoalan-persoalan penting yang sering kita pikirkan. Kehidupan diartikan sebagai sebuah proses kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Pembicaraan tentang kematian sering dicela oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengarnya. Mereka menganggap bahwa kematian hanya akan terjadi ketika seseorang telah lanjut usia, seseorang tidak ingin memikirkan tentang kematian dirinya yang tidak menyenangkannya ini. Sekalipun begitu ingatlah selalu, tidak ada yang menjamin bahwa seseorang akan hidup dalam satu jam berikutnya. Tiap hari, orang-orang menyaksikan kematian orang lain di sekitarnya tetapi tidak memikirkan tentang hari ketika orang lain menyaksikan kematian dirinya. Ia tidak mengira bahwa kematian itu sedang menunggunya!

Ketika kematian dialami oleh seorang manusia, semua “kenyataan” dalam hidup tiba-tiba lenyap. Tidak ada lagi kenangan akan “hari-hari indah” di dunia ini. Renungkanlah segala sesuatu yang anda dapat lakukan saat ini: anda dapat mengedipkan mata anda, menggerakkan badan anda, berbicara, tertawa; semua ini merupakan fungsi tubuh anda. Sekarang renungkan bagaimana keadaan dan bentuk tubuh anda setelah anda mati nanti.

Dimulai saat anda menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, anda tidak ada apa-apanya lagi selain “seonggok daging”. Tubuh anda yang diam dan terbujur kaku, akan dibawa ke kamar mayat. Di sana, ia akan dimandikan untuk yang terakhir kalinya. Dengan dibungkus kain kafan, jenazah anda akan di bawa ke kuburan dalam sebuah peti mati. Sesudah jenazah anda dimasukkan ke dalam liang lahat, maka tanah akan menutupi anda. Ini adalah kesudahan cerita anda. Mulai saat ini, anda hanyalah seseorang yang namanya terukir pada batu nisan di kuburan.

Selama bulan-bulan atau tahun-tahun pertama, kuburan anda sering dikunjungi. Seiring dengan berlalunya waktu, hanya sedikit orang yang datang. Beberapa tahun kemudian, tidak seorang pun yang datang mengunjungi.

Sementara itu, keluarga dekat anda akan mengalami kehidupan yang berbeda yang disebabkan oleh kematian anda. Di rumah, ruang dan tempat tidur anda akan kosong. Setelah pemakaman, sebagian barang-barang milik anda akan disimpan di rumah: baju, sepatu, dan lain-lain yang dulu menjadi milik anda akan diberikan kepada mereka yang memerlukannya. Berkas-berkas anda di kantor akan dibuang atau diarsipkan. Selama tahun-tahun pertama, beberapa orang masih berkabung akan kepergian anda. Namun, waktu akan mempengaruhi ingatan-ingatan mereka terhadap masa lalu. Empat atau lima dasawarsa kemudian, hanya sedikit orang saja yang masih mengenang anda. Tak lama lagi, generasi baru muncul dan tidak seorang pun dari generasi anda yang masih hidup di muka bumi ini. Apakah anda diingat orang atau tidak, hal tersebut tidak ada gunanya bagi anda.

Sementara semua hal ini terjadi di dunia, jenazah yang ditimbun tanah akan mengalami proses pembusukan yang cepat. Segera setelah anda dimakamkan, maka bakteri-bakteri dan serangga-serangga berkembang biak pada mayat tersebut; hal tersebut terjadi dikarenakan ketiadaan oksigen. Gas yang dilepaskan oleh jasad renik ini mengakibatkan tubuh jenazah menggembung, mulai dari daerah perut, yang mengubah bentuk dan rupanya. Buih-buih darah akan meletup dari mulut dan hidung dikarenakan tekanan gas yang terjadi di sekitar diafragma. Selagi proses ini berlangsung, rambut, kuku, tapak kaki, dan tangan akan terlepas. Seiring dengan terjadinya perubahan di luar tubuh, organ tubuh bagian dalam seperti paru-paru, jantung dan hati juga membusuk. Sementara itu, pemandangan yang paling mengerikan terjadi di sekitar perut, ketika kulit tidak dapat lagi menahan tekanan gas dan tiba-tiba pecah, menyebarkan bau menjijikkan yang tak tertahankan. Mulai dari tengkorak, otot-otot akan terlepas dari tempatnya. Kulit dan jaringan lembut lainnya akan tercerai berai. Otak juga akan membusuk dan tampak seperti tanah liat. Semua proses ini berlangsung sehingga seluruh tubuh menjadi kerangka.

Tidak ada kesempatan untuk kembali kepada kehidupan yang sebelumnya. Berkumpul bersama keluarga di meja makan, bersosialisasi atau memiliki pekerjaan yang terhormat; semuanya tidak akan mungkin terjadi.

Singkatnya, “onggokkan daging dan tulang” yang tadinya dapat dikenali; mengalami akhir yang menjijikkan. Di lain pihak, anda – atau lebih tepatnya, jiwa anda – akan meninggalkan tubuh ini segera setelah nafas anda berakhir. Sedangkan sisa dari anda – tubuh anda – akan menjadi bagian dari tanah.

Ya, tetapi apa alasan semua hal ini terjadi?

Seandainya Allah ingin, tubuh ini dapat saja tidak membusuk seperti kejadian di atas. Tetapi hal ini justru menyimpan suatu pesan tersembunyi yang sangat penting

Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu manusia; seharusnya menyadarkan dirinya bahwa ia bukanlah hanya tubuh semata, melainkan jiwa yang “dibungkus” dalam tubuh. Dengan lain perkataan, manusia harus menyadari bahwa ia memiliki suatu eksistensi di luar tubuhnya. Selain itu, manusia harus paham akan kematian tubuhnya - yang ia coba untuk miliki seakan-akan ia akan hidup selamanya di dunia yang sementara ini -. Tubuh yang dianggapnya sangat penting ini, akan membusuk serta menjadi makanan cacing suatu hari nanti dan berakhir menjadi kerangka. Mungkin saja hal tersebut segera terjadi.

Walaupun setelah melihat kenyataan-kenyataan ini, ternyata mental manusia cenderung untuk tidak peduli terhadap hal-hal yang tidak disukai atau diingininya. Bahkan ia cenderung untuk menafikan eksistensi sesuatu yang ia hindari pertemuannya. Kecenderungan seperti ini tampak terlihat jelas sekali ketika membicarakan kematian. Hanya pemakaman atau kematian tiba-tiba keluarga dekat sajalah yang dapat mengingatkannya [akan kematian]. Kebanyakan orang melihat kematian itu jauh dari diri mereka. Asumsi yang menyatakan bahwa mereka yang mati pada saat sedang tidur atau karena kecelakaan merupakan orang lain; dan apa yang mereka [yang mati] alami tidak akan menimpa diri mereka! Semua orang berpikiran, belum saatnya mati dan mereka selalu berpikir selalu masih ada hari esok untuk hidup.

Bahkan mungkin saja, orang yang meninggal dalam perjalanannya ke sekolah atau terburu-buru untuk menghadiri rapat di kantornya juga berpikiran serupa. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa koran esok hari akan memberitakan kematian mereka. Sangat mungkin, selagi anda membaca artikel ini, anda berharap untuk tidak meninggal setelah anda menyelesaikan membacanya atau bahkan menghibur kemungkinan tersebut terjadi. Mungkin anda merasa bahwa saat ini belum waktunya mati karena masih banyak hal-hal yang harus diselesaikan. Namun demikian, hal ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian dan usaha-usaha seperti ini hanyalah hal yang sia-sia untuk menghindarinya:

Katakanlah: “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (QS. 33:16)

Manusia yang diciptakan seorang diri haruslah waspada bahwa ia juga akan mati seorang diri. Namun selama hidupnya, ia hampir selalu hidup untuk memenuhi segala keinginannya. Tujuan utamanya dalam hidup adalah untuk memenuhi hawa nafsunya. Namun, tidak seorang pun dapat membawa harta bendanya ke dalam kuburan. Jenazah dikuburkan hanya dengan dibungkus kain kafan yang dibuat dari bahan yang murah. Tubuh datang ke dunia ini seorang diri dan pergi darinya pun dengan cara yang sama. Modal yang dapat di bawa seseorang ketika mati hanyalah amal-amalnya saja.








© 2005 Harun Yahya International. Hak Cipta Terpelihara. Semua materi dapat disalin, dicetak dan disebarkan dengan mencantumkan sumber situs web ini info@harunyahya.com

renungan

Tsunami di Ujung Tarikan Napas Nabi Musa AS
Oleh : KH A Hasyim Muzadi


Milis DT - "Inna Ahwanal Anbiyaa-i Mautan Kaliimullaah Muusaa'alaihissalaam" (Di antara para nabi yang paling mudah mengalami derita kematian adalah Nabi Musa AS).

Kalau bumi yang mampu menampung miliaran lembar nyawa manusia saja ukurannya seperti titik, lantas di mana tempat kita di tengah tata surya ini? Lantas, kenapa kita selalu merasa paling besar, paling berkuasa sangat angkuh, padahal sesungguhnya kita hanyalah mahluk yang sangat lemah tak berdaya? Kenapa kita selalu merasa hebat, padahal di luar hak kepemilikan Allah SWT atas kita, rasa ketergantungan kita kepada alam sangatlah besar?

Di penghujung tahun 2004 lalu, Allah benar-benar menunjukkan betapa Maha Besar-Nya Dia dan betapa sangat kecil dan lemahnya kita. Sebuah patahan bumi yang bergerak hingga menyebabkan gempa serta lempengan bumi yang menganga sepersekian detik hingga mengakibatkan tumpahnya air laut dalam bentuk tsunami, seperti hentakan keras suara Malaikat Maut di gendang telinga kita bahwa Allah itu Wujud (Maha Ada).

Dalam untaian kata-kata biasa, gempa tektonik berskala 9,0 magnitudo telah menyebabkan tsunami di Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 sehingga 150 ribu orang tewas di 12 negara Asia-Afrika. Bencana ini terjadi persis setahun setelah gempa di Bam Iran yang menewaskan 30 ribu orang pada tanggal 26 Desember 2003. Lantas di mana letak Aceh dan Sumatra Utara di antara molekul-molekul itu? Aceh dan Sumatra Utara hanya sebagian kecil dari Bumi Nusantara Indonesia hanya bagian terkecil dari bentangan bumi. Bumi tak lebih dari sekadar satu titik dari sebuah garis kekuasaan di antara Kekuasaan-Nya. Allahu Akbar!

Dalam konteks ke-Maha Besar-an Allah, bencana gempa bumi dan gelombang tsunami tersebut benar-benar tak mampu kita prediksi sehingga untuk mengetahui adanya aktivitas seismik yang dapat direkam sebelum terjadi gempa, tak bisa kita lakukan. Ketika pengetahuan manusia begitu terbatas, kepekaan menurun, kesadaran ilmiah berkurang, mendadak bencana itu seperti dikendalikan dengan menggunakan gelombang elektromagnetik.

Di tengah arogansi kita sebagai manusia Allah SWT langsung menunjukkan Sifat Al-Qahhar (Yang Maha Perkasa) dengan memerintahkan malaikat untuk meniupkan triliunan ton kumpulan energi yang sangat besar, sehingga terciptalah gempa dan tsunami. Demikianlah, "Wa Idzal Bihaaru Fujjirot" (Dan Apabila Samudera Ditumpahkan). Secara materi dan kasat mata kerusakan yang ditimbulkan luar biasa mengerikan. Ribuan bangunan rata dengan tanah dan kampung-kampung menghilang dari peta daerah. Yang sungguh menghempaskan jiwa kita sebagai anak manusia ke dasar sumur tanpa dasar adalah karena beribu-ribu lembar nyawa manusia melayang dengan proses dan caranya masing-masing. Kalau kerusakan benda dapat kita berikan, bagaimana dengan tercabutnya nyawa-nyawa tak berdosa karena diambil Malaikat Maut tanpa ada isyarat sedikitpun.

Mereka yang menjadi korban adalah rakyat kita yang tingkat kepatuhannya tak pantas kita pertanyakan. Saudara-saudara kita di Aceh terutama sudah sekian puluh tahun menderita lahir dan batin karena situasi yang tak pernah menentramkan. Dalam hikmah-Nya puluhan atau mungkin seratus ribu lebih nyawa itu, sengaja diselamatkan Allah untuk didaftarkan sebagai penghuni surga karena dunia sudah tak nyaman bagi mereka.

Lantas, benarkah pendaftaran menuju surga tanpa pengorbanan? Tercabutnya nyawa dari badan sungguh tak terperikan sakitnya. Tapi bagi syuhada Aceh itu jauh lebih baik dengan menjadi penghuni surga ketimbang terus menderita. Coba kita simak sebuah riwayat berikut seputar gambaran tercabutnya nyawa dari jasad manusia. Syahdan, begitu tiba janji-Nya Malaikat Maut mendatangi Nabi Musa alaihissalam. Nabi Musa mendadak pucat. Hanya karena kedekatannya kepada Allah SWT Malaikat Maut mencoba melakukan dengan sangat hati-hati. Begitu Malaikat Maut akan mencabut nyawa Nabi Musa dari ujung kakinya, Nabi Musa bertanya, "Sampai hatikah engkau mencabut nyawa saya dari kaki yang pernah kugunakan untuk berjalan menuju Gunung Tursina ketika turun Firman-Nya?".

Malaikat Maut mengurungkan niatnya, "Bagaimana kalau dari tangan?" tanya Malaikat Maut. "Duhai Malaikat Maut. Lupakah engkau betapa hanya dengan tangan ini saya menerima lembaran-lembaran shahifah suci yang berisikan Firman-Nya?" kata Nabi Musa merajuk. "Bagaimana kalau dari bagian kepala saja?" kata Malaikat Maut masih menawar. "Ya Allah Robbul 'Izzati. Malaikat-Mu akan mencabut nyawa hamba mulai dari kepala ini, padahal sepanjang hidup hamba jadikan tempat untuk bersujud dan bermunajat kepada-Mu?" kata Nabi Musa. Begitu tak ada jalan lain, Malaikat Maut mengambil untuk Nabi Musa selembar kulit jeruk. "Hai Musa, hiruplah aroma kulit jeruk itu saja," perintah Malaikat Maut. Begitu aroma jeruk menyelusup ke rongga hidungnya, Nabi Musa menghembuskan napas. Beliau wafat di ujung kulit jeruk. Jeruk yang skala dahsyatnya seperti gelombang tsunami.

Karena proses itulah, maka Nabi Musa dikenal sebagai seorang nabi yang paling mudah kematiannya. Tetapi sadarkah dan tahukah kita bagaimana sebenarnya makna mudah dalam proses kematian Nabi Musa? Dalam sebuah riwayat lanjutannya, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Kematian Nabi Musa sama kadar kegetirannya dengan penderitaan seseorang yang ditebas dengan sebilah pedang yang sangat tajam sebanyak 300 kali." Pada riwayat lainnya disebutkan kematian termudah nabi Musa itu ibarat seekor domba yang dalam keadaan segar bugar tetapi lantas dimatikan dengan cara mencabut bulu-bulunya dalam keadaan hidup. "Ibarat sebuah pentungan besi bergerigi yang ditancapkan ke perut, lantas ditarik dengan sangat keras dan tenaga yang kuat. Tak adakah bagian yang ikut terbawa pentungan itu?" kata Sayyidah Aisyah RA.


Itulah yang dialami Nabi Musa, sebuah proses termudah. Bagaimana dengan proses kematian saudara-saudara kita yang diterjang gelombang tsunami? Kalau kita harapkan mereka menjadi syuhada (pasti bukan nabi), maka kita bisa menggambarkan sendiri. Kini mari kita lepas kepergian saudara-saudara kita sebagai ahli surga. Kita yang ditinggal, mari berlatih memahami kematian secara tulus dan mencoba merasakan betapa dahsyatnya kematian. Wallaahu A'lamu Bisshowaab. (RioL)
Planet tempat kita tinggal, hanyalah merupakan titik teramat kecil di tengah bentangan Bima Sakti yang menghuni alam semesta. Ia tak lebih dari sekadar sebuah molekul sepermini di antara bilangan tak terhingga molekul-molekul lainnya. Bumi kita dikelilingi lautan mahaluas dengan gelombang miliaran ton energi yang sungguh ganas. Di atas semua kehidupan ini, Allah SWT bersemayam, di Singgasana kerajaan-Nya. Dialah yang mengatur semuanya.

( ni untuk kemashlatan umat)

Jumat, 10 April 2009

badai


pada tanggal 11 bulan desember tahun 2008, angin kencang yang melanda desa padang japang merubuhkan pohon tarok tua di tebing masjid raya padang japang, sehingga jalan ke mesjid rusak. dan kendaraan roda empat tidak bisa melewati jalan tersebut. dan kendaraan roda 2 pun harus berhati2 agar tidak jatuh ke dalam kolam ikan.